Nelayan Masih Tetap Terpuruk

Tuesday, March 25, 2008


Nelayan Ciparage, Kabupaten Karawang

Foto, Alvino-Radar Karawang


CILEBAR, RAKA - Kehidupan nelayan hingga kini masih terpuruk. Terlebih pasca bencana banjir dibarengi gelombang tinggi dan angin kencang yang membuat nelayan tidak berani melaut. Hingga berimbas terhadap memburuknya kondisi ekonomi mereka. Bendahara Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Fajar Samudra, Desa Pusakajaya Utara, Cilebar, Sarpa (65) menjelaskan kepada RAKA, Minggu (23/3) siang.


Musim hujan kemarin, banyak nelayan yang menggantungkan alat tangkapannya dan tidak melaut. Akhirnya, mereka tidak bisa memberi penghidupan bagi keluarganya. "Keadaan nelayan memang seperti ini terus, untuk itu saya minta kepada pemerintah untuk membantu nelayan dari perlengkapan alat tangkapan dan harga BBM jangan dimahalkan," katanya.


Dijelaskan, saat ini setiap perahu nelayan hanya memiliki satu jenis alat tangkap ikan, sedangkan dalam setahun terdapat beberapa musim ikan. Dengan satu alat tangkap ikan yang dimiliki nelayan, otomatis tidak bisa digunakan menangkap ikan jenis lainnya. Misalnya alat tangkap udang tidak bisa digunakan untuk alat tangkap ikan. Ini yang jadi kendala nelayan, terlebih saat ini harga alat tangkapan ikan sangat mahal dan nelayan tradisional tidak mampu membelinya.


Keterpurukan nelayan ini, kata sarpa, terjadi akibat beberapa hal, diantaranya harga bahan bakar solar dan sembako mahal, juga tidak dimilikinya alat tangkap ikan lengkap. "Karena hanya memiliki satu alat tangkap saja, kalau kalau musim udang hilang maka nelayan tidak bisa menangkap ikan dan mereka harus menunggu musim udang lagi," tandas Sarpa.


Kalau satu perahu memiliki tiga jenis alat tangkap ikan, lanjut Sarpa, mereka bisa beropersi setiap musim setahun penuh. "Selain itu, pemerintah juga harus mendukung dengan menaikan harga ikan tangkapan nelayan. Jika harga tinggi dan nelayan bisa dibantu peralatanya, maka nelayan bisa mandiri tanpa selalu meminta terus," ujarnya.


Kalau harga udang mahal, nelayan akan sejahera dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karawang pun bisa tinggi. Saat ini, alat tangkap ikan harganya naik berkisar Rp 110 ribu belum termasuk alat lainya seperti tambang dan timah, jadi total untuk satu alat tangkap sekitar Rp 250 ribu. Sedangkan, satu perahu membutuhkan 30-40 buah alat tangkap sejenis atau yang disebut ting-ting. Jika Rp 250 dikali 30 atau 40 buah alat tangkap yang dibutuhkan, yaitu sekitar Rp 7,5 hingga Rp 10 juta untuk satu perahu. "Jadi, untuk beli bahan bakar solar saja sulit, apalagi beli alat tangkap ikan yang mahal," katanya.


Keluhan nelayan ini sudah bukan hal baru melainkan sering terdengar di tahun-tahun lalu. Meski pemerintah telah membantu mereka dengan infrastruktur bangunan TPI dan mesin perahu. Namun, harga bahan bakar dan sembako yang tinggi tetap saja tidak bisa menandingi biaya produksi. Artinya, pergi melaut dengan ongkos besar dan pulang dengan penghasilan minim, bahkan nelayan tidak cukup untuk bayar hutang ke warung nasi.


Selama ini, satu-satunya tempat peraduan nelayan adalah koperasi nelayan, seperti Koperasi Fajar Samudra di Cilebar ini, bak seperti anak kecil yang merengek pada orang tuanya, nelayan selalu meminta bantuan pada koperasi hingga suku cadang perahu. Padahal, selama ini pembayaran retribusi nelayan pada koperasi masih banyak yang nunggak. "Ini juga jadi masalah bagi Pemda Karawang, kalau nelayan tidak bisa membayar retribusi penjualan ikan mereka, bagaimana koperasi nelayan bisa membayar PAD ke pemerintah, ini dilematis dan saya harus pemerintah mamiliki solusi tepat untuk menyelesaikannya," ujarnya. (spn)

Apa pendapat Anda tentang berita ini? komentar berita Secara otomatis, komentar yang ditulis akan masuk pada dinding Facebook Anda.
 
 
 
 
Copyright © BeritaKarawang.com | Space iklan logo Rp 200 ribu sebulan
Karawang, Jawa Barat, Indonesia, 085691309644, beritakarawang@gmail.com | Asep Saepudin Hasan