RENGASDENGKLOK, RAKA - Akhir-akhir ini masyarakat dikagetkan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas diharamkannya merokok, fatwa tersebut memang terasa aneh. Keterkejutan publik secara sosiologi layak difahami, karena bahaya merokok di Indonesia masih menjadi isu pinggiran.
Demikian kata guru pembimbing pecinta alam SMAN 1 Batujaya, Kholid Al Kautsar, kepada RAKA, Jumat (20/2) siang. Menurutnya, selama ini ulama Indonesia hanya memberikan fatwa merokok makruh hukumnya. Berbeda dengan jumhur ulama di negara-negara Timur Tengah. Bahkan Malaysia dan Brunai Darussalam, sejak dulu sudah menfatwakan merokok itu haram.
Ulama terkenal Syeikh Yusuf Al-Qordowi, kata Khlid, termasuk salah satu ulama yang mengharamkan merokok. Dari sisi kesehatan, bahaya merokok sudah tak terbantahkan lagi, bukan hanya menurut WHO, tapi lebih dari 70 ribu artikel ilmiah membuktikan hal itu. Dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya, dan 43 di antaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker, red).
Zat berbahaya dalam kandungan rokok itu diantaranya Tar, Karbon Monoksida (CO) dan Nikotin. Akibatnya, berbagai penyakit pun mengintai si perokok seperti kanker paru. Diketahui, 90% pengidap kanker paru pada pria disebabkan merokok, dan 70% pada wanita yaitu kanker mulut, kanker bibir, asma, kanker leher rahim, jantung koroner, darah tinggi, stroke, kanker darah, kanker hati, Bronchitis, Impotensi dan rusaknya kesuburan bagi wanita.
Maka, lanjutnya, tidak heran jika menurut estimasi WHO, pada tahun 2020 dampak merokok menjadi permasalahan terbesar di bidang kesehatan. Menurut WHO pula, ucap Kholid, ironisnya saat ini trend penggunaan tembakau di negara maju mulai menurun. Pada tahun 1996 mencapai 32%, pada 2001 hanya 28%. Namun di negara-negara berkembang trend konsumsi tembakau malah mengalami kenaikan yaitu 68% pada 1996, menjadi 72% pada 2001.
"Dampak bahaya merokok memang unik dan klasik. Tidak ada orang mati mendadak karena merokok. Dampaknya tidak instan, beda dengan minuman keras dan narkoba. Dampak merokok akan terasa 10 - 20 tahun pasca dikonsumsi. Dan perlu diingat, dampak asap rokok bukan hanya untuk si perokok aktif juga berdampak serius bagi perokok pasif. Orang yang tidak merokok akan terpapar asap rokok dengan dua kali lipat racun yang dihembuskan pada asap rokok oleh para perokok. Sangat tidak adil, tidak merokok, tetapi malah menghirup racun dua kali lipat," jelasnya.
Kata Kholid, begitu banyaknya orang yang cuek merokok tanpa peduli akan hak orang lain untuk menghirup udara sehat. Maka salah satu cara untuk membatasi perilaku merokok semau gue, WHO mencanangkan program Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempat-tempat umum. Program seperti ini lazim diterapkan di berbagai negara, termasuk di Asean, seperti Malaysia, Singapura, bahkan Vietnam. "Di Malaysia orang merokok di tempat umum didenda 500 ringgit, di Bangkok didenda 2000 baht," ucapnya.
Bahkan WHO sekarang sudah menerapkan konvensi bernama Framework Convention on Tobacco Control ( FCTC ), dan sudah ditanda tangani oleh lebih 160 negara anggota WHO. Lebih dari 40 negara telah meratifikasinya, dan sekarang FCTC sudah menjadi hukum internasional. Selain mengatur soal larangan merokok di tempat umum, FCTC juga berharap pemerintah untuk menanggulangi dampak rokok secara elegan dan komprehensif. Misalnya menaikan cukai rokok, larangan iklan di media massa dan promosi, serta larangan penyelundupan (smuggling).
Menaikan cukai rokok merupakan instrumen penting, selain membatasi segmentasi perokok, juga untuk meningkatkan pendapatan negara. Tapi sungguh ironis, mayoritas perokok di Indonesia adalah orang miskin. Menurut survey Bappenas (1995), orang miskin justru mengalokasikan 9% total pendapatannya untuk rokok. Sangat besar manfaatnya jika dana itu digunakan untuk kesehatan, pangan atau pendidikan.
Rokok memang memberikan kontribusi signifikan berupa cukai. Bayangkan tahun 2004 cukai rokok sebesar Rp 27 trilyun. Belum lagi kontribusi sektor pertanian dan tenaga kerja. Namun itu tidak seimbang dengan biaya kesehatan akibat merokok yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Menurut data di berbagai negara dan juga di Indonesia, biaya kesehatan yang ditanggung pemerintah dan masyarakat sebesar 3 kali lipat dari cukai yang didapat.
Jadi, kata Kholid, kalau cukainya Rp 27 trilyun, maka biaya kesehatannya sebesar Rp 81 trilyun alias devisit. Cepat atau lambat, pemerintah harus mengambil kebijakan konkrit dan komprehensif untuk menanggulangi bahaya rokok. Jika tidak, bukan hal yang mustahil berbagai penyakit yang diakibatkan merokok akan menjadi wabah. (spn)
0 comments:
Post a Comment