Jurnalisme Literair (Budiman S. Hartoyo)

Monday, March 16, 2009

Kajian kecil dan sederhana, sumbangsih buat kawan-kawan anggota PWI-Reformasi seluruh Indonesia yang ingin maju sebagai wartawan profesional dari Budiman S. Hartoyo yang dikutip kembali oleh Asep Saepudin Hasan untuk dipublikasikan.
 
BELAKANGAN ini ada kecenderungan di kalangan (sebagian kecil) wartawan meminati apa yang disebut "jurnalisme sastrawi". Di kalangan orang awam, bahkan di
kalangan sebagian wartawan sendiri, ada yang belum tahu persis apa itu "jurnalisme sastrawi". Mengapa jurnalisme dihubungkan dengan sastra? Bukankah
jurnalisme mengandalkan fakta, sedangkan sastra mengangkat fiksi? Bukankah
harus dibedakan antara fakta dan fiksi?
 
Benar. Berita, dan dengan demikian juga jurnalisme, memang mengandalkan fakta,
tidak mungkin memperhitungkan fiksi, sedangkan sastra lebih mengutamakan fiksi.
Lalu mengapa ada "jurnalisme sastrawi"? Maksudnya tiada lain ialah jurnalisme
yang ditulis dengan gaya berkisah (mendekati atau agak mirip) dengan (gaya)
menulis sastra. Maksudnya, bukan "bersastra-sastra", atau "memfiksikan fakta"
(yang mustahil), melainkan menuturkan atau menggambarkan suatu fakta secara
detil dan relevan dengan bahasa yang benar dan bagus. Di sinilah pentingnya
penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar!
 
Tapi, saya tidak sepakat dengan penamaan "jurnalisme sastrawi". Saya lebih
menyukai jurnalisme literair karena lebih mendekati penamaan aslinya, yaitu literary journalism. Namun, sekali lagi, saya merasa aneh jika belakangan ini jurnalisme literair
justru diminati oleh (sebagian) wartawan (di kota-kota besar). Padahal, untuk
memahami, apalagi menulis dengan gaya jurnalisme literair, tidaklah mudah.
Sangat sulit! Wartawan yang ingin menulis (dengan gaya) jurnalisme literair,
terlebih dahulu harus mampu menulis feature, sedangkan wartawan yang ingin menulis feature terlebih dulu harus mampu menulis berita yang konvensional,
mulai dari straight news dan berita yang ditulis dengan metode "piramida
terbalik" -- yang semuanya harus mengandung unsur 5-W dan 1-H, yang juga
disebut sebagai jurnalisme dasar (basic journalism).
 
Bagi rekan-rekan pemula yang ingin belajar menulis, silakan membuka salah satu
blog saya yang memuat beberapa tulisan mengenai "pedoman menulis" sebagai
jurnalisme dasar di salah satu blog saya: http://www.budimanshartoyo.blog.com/.
Dan untuk memahami apa itu straight news, news feature, dan sebagainya, silakan
baca tulisan saya, Bagaimana Menulis Feature? dan Bagaimana Menjadi Wartawan Profesional? dalam blog saya yang lain: http://www.budimanshartoyo.multiply. com.
 
Ibarat orang yang mau belajar melukis, tidak bisa dia langsung melukis dengan
gaya kubisme seperti gaya Picasso, AS Budiono, Fajar Sidik, atau modern abstrak
seperti gaya Mondrian atau Affandi. Ia terlebih dahulu harus belajar melukis
dengan gaya Leonardo Da Vinci atau Basuki Abdullah yang naturalis, bahkan
berkali-kali harus studi atau berlatih menggambar anatomi tubuh manusia.
 
Misalnya, wujud tangan kanan mulai dari pergelangan tangan dan lima
jari-jarinya yang sedang mencengkeram, atau wajah seorang perempuan yang sedang
meringis atau menangis tampak guratan urat dan kerut-merut kulitnya. Persis
dan detil! Barulah setelah itu ia boleh mencoba melukis dengan gaya modern,
abstrak atau ekspresionistis. Pendeknya, seorang wartawan yang bermaksud belajar menulis news feature dan literary journalism, terlebih dahulu wajib memahami basic journalism. Ya, wajib!
 
Jurnalisme literair sesungguhnya dimulai pada tahun 1970-an, ketika Tom Wolfe �
seorang jurnalis di New York, Amerika Serikat -- memperkenalkan gaya penulisan
dalam pers yang sama sekali baru yang ia sebut "new journalism." Namun, saya kurang sepakat dengan pendapat, bahwa jurnalisme literair di Indonesia pertama kali diperkenalkan dalam sebuah kursus di Jakarta pada bulan Juli 2001. Menurut saya, secara lebih luas, jurnalisme literair di Indonesia dimulai dengan terbitnya Majalah Berita Mingguan TEMPO, terutama ketika pemimpin redaksinya, Goenawan Mohamad, seperti halnya Tom Wolfe -- memperkenalkan apa yang ia sebut "jurnalisme baru".
 
Menurut GM, gaya TEMPO yakni menulis berita secara bertutur (deskriptif),
adalah kombinasi antara ketrampilan jurnalisme dan kepiawaian bersastra.
Memang, gaya TEMPO seperti itu diakui berkat "cipratan" inspirasi dari gaya
penulisan berita TIME Weekly Newsmagazine. Tapi, jauh sebelumnya sudah ada para wartawan senior yang menulis dengan gaya jurnalisme literair, seperti M. Tasrif, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar yang menulis laporan perjalanan Dari Rumah ke Barat.
Bahkan jauh sebelumnya, Adinegoro sudah menulis jurnal perjalanan Melawat ke Barat yang dimuat berseri di majalah Pandji Poestaka. (Baca: Laporan Basah Laporan Sampah, Laporan Kering Laporan Berdaging; http://www.budimanshartoyo.multiply.com).
 
SELAIN secara teknis sudah harus memahami apa itu straight news, metode
piramida terbalik, persyaratan 5-W 1-H, dan tentang news feature, seorang
wartawan yang ingin menulis dengan gaya jurnalisme literair harus memenuhi
beberapa persyaratan penting lainnya. Pertama, ia harus punya wawasan luas
karena sering dan banyak membaca buku. Seorang wartawan memang harus banyak
membaca buku. Tentu saja buku yang berkaitan dengan bidang minatnya. Tapi,
membaca buku apa saja, itu penting. Dengan membaca buku, pengetahuan dan
wawasan kita menjadi luas.
 
Dengan wawasan yang luas, pemilihan terhadap topik-topik yang akan kita tulis
bisa beragam dan selektif. Selain itu ketika melakukan wawancara, pertanyaan
yang kita ajukan tidak monotone (datar), bahkan bisa berkembang menjadi diskusi
kecil. Ketika si wartawan melakukan reportase, ia mampu melihat situasi yang
berbeda dibanding hasil reportase wartawan lain. Demikian pula ketika si wartawan melakukan riset untuk memperkaya bahan wawancara atau reportasenya; ia
dapat menemukan bahan-bahan yang lebih kaya. Bahkan ketika menyusun outline dan
menulis, ia mampu mempertimbangkan mana yang bagus untuk dimanfaatkan, dan mana yang lebih baik dibuang.
 
Berkat wawasan yang luas itu pula, ia mampu memiliki kepekaan dalam mengendus
berita, memiliki nose of news. Ia mampu memilih mana kasus atau topik yang menarik atau layak untuk ditulis dan mana yang tidak. Ini sangat penting, sebab sebuah news feature yang ditulis dengan gaya jurnalisme literair tidak hanya harus menarik dari segi gaya penulisannya, melainkan juga tergantung dari menarik tidaknya kasus atau topik
yang ditulis. Berkat nose of news (kemampuan mengendus berita) itulah ia mampu
menentukan atau memilih mana kasus atau topik yang magnitude atau bobotnya
besar sehingga layak untuk kita tulis.
 
Selain itu ia juga cukup cermat ketika melakukan wawancara, reportase atau
riset untuk memperkaya bahan tulisan. Cermat, juga dalam pengertian mampu
memilih bahan (hasil wawancara, reportase dan riset) mana yang perlu dan mana
yang tidak perlu. Ia tidak sembarangan, tidak asal-asalan. Juga dalam proses
menulis, ia cermat mengikuti alur outline, tidak melenceng, tetap setia dengan
angle dalam jalur "garis pendulum" sebagaimana telah ia tentukan dalam outline (kerangka tulisan) sebagai dasar acuan untuk membuat struktur tulisan menjadi lebih baik. Struktur tulisan
 
ini sangat penting. Apa yang disebut outline, angle (sudut pandang tulisan) dan "garis pendulum", lihat tulisan saya, Bagaimana Menulis Feature? dalam blog
saya, http://www.budimanshartoyo.multiply.com. Lebih dari semua itu, ia harus tangguh secara fisik maupun psikis. Mengapa? Sebab, proses penulisan news feature yang disajikan dengan gaya jurnalisme literair memang memerlukan waktu yang cukup lama. Terutama dalam pengumpulan bahan (wawancara, reportase, riset) dan proses menuliskannya. Proses pengumpulan bahan bisa berlangsung lebih dari satu atau dua bulan, sedangkan proses penulisannya bisa makan waktu selama satu sampai dua minggu. Untuk itu tentu diperlukan dana operasional yang cukup dan memadai, di luar honorarium.
 
Hanya wartawan yang memiliki "jam terbang" cukup lamalah yang mempunyai
kemampuan tangguh, punya nose of news, dan mampu "menjahit" atau "memasak" segenap bahan "belanjaan" dari lapangan, meskipun semuanya itu bisa dilatih. Pengertian "jam terbang" di sini tidak hanya mencakup faktor senioritas � yakni lamanya seorang wartawan bergulat di dunia pers, melainkan juga menyangkut kedewasaan (maturity) psikologisnya.
 
Khusus mengenai "jam terbang", sekali lagi yang dimaksud bukan sekedar faktor
senioritas, melainkan bobot prestasi seorang wartawan/redaktur selama lima atau
10 tahun ia menjalani karir. Jika selama itu ia tidak banyak membaca yang
dibuktikan dengan kemampuannya menyebutkan beberapa buku sebagai referensi
dan tidak menghasilkan karya tulis yang berbobot, janganlah sekali-kali berani
mengklaim sebagai "wartawan senior yang profesional dengan jam terbang yang cukup". Ia tak lebih hanyalah seorang kerani, jurutulis, tukang ketik!
 
BAGAIMANA proses menulis news feature yang disajikan dengan gaya jurnalisme
literair? Kini sampailah kita pada pokok diskusi kita. Pertama-tama, hendaknya
terlebih dulu Anda memilih kasus atau topik yang layak untuk ditulis, yang magnitude-nya cukup besar, yang sangat berkaitan dengan kepentingan khalayak ramai (public),
apalagi yang dramatis dan menyangkut nilai-nilai kemanusiaan. Saya paling suka
memberi contoh TPA (Tempat Penampungan Akhir) Sampah di Kecamatan Bantargebang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
 
Beberapa waktu lalu di TPA tersebut terjadi tragedi kemanusiaan yang sangat
dramatis. Kisah "anak manusia" yang sangat tragis, atau sebuah tragedi
kemanusiaan yang dramatis, tapi juga gambaran kehidupan yang cukup kontradiktif
sekaligus mengharukan, memilukan! Ketika itu, tumpukan sampah yang menggunung
-- benar-benar menggunung karena ukurannya yang menyamai tinggi pohon nyiur itu, mendadak sontak runtuh. Jangan tanya lagi betapa busuk baunya!
 
Nah, sampah yang menggunung itu tiba-tiba ambruk menimpa para pemulung,
sehingga ada yang meninggal. Bayangkanlah, di negeri yang sudah merdeka selama
60 tahun ini ada sejumlah warganegara yang mengais-ngais nafkah di pusat
pembuangan sampah dan meninggal gara-gara tertimpa tumpukan barang-barang bekas, yang adalah juga sekaligus nafkah mereka! Kini, susunlah outline berdasarkan kasus tersebut, dengan angle tragedi kemanusiaan yang sangat tragis. Pertimbangkan outline tersebut sebaik-baiknya sebelum Anda melangkah ke tahap wawancara, reportase dan riset. Setelah Anda merasa mantap dengan outline, tibalah
saatnya Anda bertugas sebagai wartawan yang profesional..
 
Cari tahu bagaimana kasus itu terjadi. Anda harus tinggal di sana selama
seminggu -- tentu saja menginap. Anda wawancara dengan berbagai pihak: para
pemulung, keluarga mereka, majikan sampah, sopir truk sampah, tetangga sekitar
TPA, lurah setempat, Pemda Bekasi. Lakukan reportase selengkap mungkin. Bukan
hanya peristiwa runtuhnya tumpukan sampah yang menggunung, tapi juga rumah
tangga para pemulung, warung kopi tempat mereka ngrumpi, berbagai sudut TPA,
dan seterusnya. Tentu saja Anda harus melakukan riset kepustakaan, baik di
Pemda Bekasi maupun di Pemda DKI Jakarta, atau di tempat lain. Jangan lupa:
kumpulkan kliping majalah maupun koran yang memuat kasus TPA Bantargebang
tersebut.
 
Ketika semua "belanjaan di lapangan" sudah Anda anggap cukup, ada baiknya jika
sekali lagi Anda baca ulang ouline dan semua bahan "belanjaan di lapangan" yang
Anda catat dengan cermat dan rinci. Sebab, outline yang telah Anda susun dengan rapih dan susah payah itu mungkin harus diubah, setelah menemukan fakta dan data baru begitu Anda melakukan wawancara, reportase, riset. Juga untuk mencocokkan hasil "belanjan di lapangan" dengan alur outline.
 
Jika Anda sudah benar-benar merasa mantap, silakan duduk di depan komputer
setelah menyiapkan semua bahan "belanjaan di lapangan". Siapkan diri secara
fisik dan mental. Mula-mula Anda akan mengalami kesulitan ketika mulai menulis lead. Ini hal yang biasa, apalagi bagi wartawan pemula. Lead yang paling
bagus ialah menggambarkan (melukiskan, mengisahkan secara deskriptif) suasana
di TPA Bantargebang ketika "gunung sampah" itu runtuh. Deskripsikan suasana ketika itu: malam, pagi, subuh, siang. Bagaimana suasana alam atau cuaca ketika
itu: panas sedang, panas terik, mendung, hujan lebat, gerimis, angin berembus
lembut, cuaca dingin atau sejuk.
 
Lukiskan pula bagaimana aroma sampah yang sangat menyengat, memabukkan, bikin
muntah. Betapa dramatis ketika "gunung sampah" itu runtuh. Lukiskan suaranya,
jerit dan teriakan orang-orang di sekitarnya, gambarkan pula pemulung yang
menjadi korban. Mereka sedang apa, posisinya bagaimana, akibatnya apa, dan
seterusnya. Dari lead pembuka itu, kita meluncur ke body text yang menceritakan,
misalnya, tentang profil (para) korban sedetil mungkin. Panjangnya mungkin bisa
sampai 10 alinea, tergantung jumlah bahan yang Anda miliki. Mengapa mereka
mencari nafkah di tempat yang "tidak layak" itu? Karena faktor kemiskinan --
kutip hasil riset Anda mengenai angka kemiskinan di Jakarta dan Bekasi, juga di
daerah asal si pemulung yang naas itu.
 
Dari sini Anda bisa menulis secara deskriptif tentang suasana TPA Bantargebang.
Anda bisa menulis panjang lebar berdasarkan hasil reportase dan wawancara Anda
di sana. Setelah itu dilanjutkan dengan profil TPA Bantargebang secara
keseluruhan. Bahannya: hasil reportase di lapangan, wawancara dengan warga
Bantargebang dan para pejabat serta hasil riset kepustakaan (dan sejumlah
kliping) mengenai TPA tersebut.
 
Teruskanlah menulis sesuai dengan alur cerita yang sudah Anda gariskan dalam
outline, dengan memanfaatkan bahan-bahan yang Anda miliki: hasil wawancara,
reportase, riset kepustakaan dan kliping. Cuma, jangan sekali-kali melenceng
dari angle, dan harus setia pada garis lurus pendulum. Tapi ingat, sebuah news
feature yang disajikan dengan gaya jurnalisme literair bukan saja memerlukan
waktu pengumpulan bahan yang cukup lama, menuliskannya pun tidak bisa dalam
waktu singkat. Mungkin bisa makan waktu sampai satu dua minggu. Dan panjangnya
pun minimal 10 halaman majalah. Jika satu halaman majalah 4000 karakter, maka
panjang tulisan Anda bisa mencapai 40 ribu karakter.
 
Manakala merasa bahwa pekerjaan Anda sudah selesai (dan sangat capai!)
janganlah keburu puas. Cobalah baca ulang beberapa kali hasil tulisan Anda yang
cukup panjang itu. Konsentrasikan perhatian Anda pada hasil karya Anda ini.
Jangan pedulikan yang lain. Nah, setelah membaca berulang kali, pasti Anda
menemukan beberapa kekurangan. Misalnya, alinea ke-15 mungkin sebaiknya
dipindah ke alinea ke-10, atau alinea ke-22 misalnya sebaiknya dipindah ke
alinea ke-25, dan seterusnya. Atau mungkin profil para pemulung yang menjadi
korban kurang lengkap, atau suasana di warung kopi TPA Bantargebang, atau
suasana di gubuk para pemulung (terutama yang menjadi korban) kurang
tergambarkan dengan detil, deskriptif dan bagus. Dan seterusnya.
 
 
Kini, sampailah kita pada ending. Bagaimana menulis ending yang baik dan enak dibaca? Banyak pilihan, tapi caranya hanya satu: pilih peristiwa, adegan, data atau ucapan (quotation) yang unik dan sangat menarik. Misalnya, suasana di warung kopi (milik siapa?) tempat para pemulung pada ngrumpi. Mungkin ada di antara mereka yang
biasa-biasa saja, bahkan ada yang masih bersenda gurau, atau ada suasana sedih
yang sangat menekan di sana. Atau ketika seorang ibu dan anaknya masih tetap
memunguti sampah plasik untuk dijual kepada majikan sampah biarpun beberapa
saat sebelumnya terjadi tragedi yang sangat memilukan hati. Biarpun suaminya
meninggal dengan sangat tragis dan memilukan gara-gara kerubuhan gunung
sampah, ia dan anaknya tetap saja mengais-ngais sampah demi sesuap nafkah.
 
Dan alangkah sangat elok jika Anda sempat mencatat ucapan si anak, misalnya,
"Gua tidak takut kerubuhan sampah. Habis, gua lahir dan besar di sini. Kemana
lagi cari uang sekolah kalau bukan di sini ...." Stop sampai di sini, jangan di
tambah kalimat lagi. Adegan dan quotation itu sudah yang sangat mengharukan.
Ini adalah salah satu contoh ending yang bagus. Untuk mendapatkan gambaran mengenai news feature yang disajikan dengan gaya jurnalisme literair, silakan
baca dua tulisan berikut ini: The Ballad of Aryanti Sitepu dan Tiga Malam Menyusup di "Sarang Teroris" dalam blog saya http://www.budimanshartoyo.multiply.com/).
 
Jika Anda ingin menyimpulkan pembicaraan kita mengenai jurnalisme literair,
maka kesimpulannya kira- kira sebagai (yang antara lain saya sarikan dari pendapat rekan saya Farid Gaban, wartawan senior TEMPO, pendiri lembaga pendidikan pers Pena Indonesia, sebagai berikut:
 
Jurnalisme literair ialah karya jurnalisme yang ditulis sebagai creative non-fiction, bergaya sastra, dalam hal ini novel. Bedanya, jika novel mengisahkan fiksi, jurnalisme literair mengisahkan non-fiksi alias fakta. Seperti halnya sastra, jurnalisme literair pun ditulis dengan kreatif. Dengan demikian, jurnalisme literair merupakan gabungan antara teknik jurnalisme dan gaya sastra, yang mengeksplorasi alur cerita dengan narasi, mendeskripsikan suasana dan karakter secara spesifik dan detil, dengan pemilihan kata atau kalimat yang tepat dan kreatif, tapi tetap akurat dan obyektif.
 
Ciri lain jurnalisme literair ialah "keterlibatan" (involvement) si penulis
sedemikian rupa, sehingga sang pembaca merasa "terlibat" pula dalam pasang
surut cerita. Dengan teknik eksplorasi, narasi dan deskripsi serta pengelolaan mood secara kreatif, si penulis "melibatkan diri" dalam cerita sehingga ia mampu memotret bahkan melukiskan fakta atau drama yang terjadi. Itu sebabnya jurnalisme literair lazim ditulis dengan gaya "saya" atau "aku", melukiskan suasana dan karakter secara spesifik, detil dan penuh warna (colourful), bahkan menyertakan dialog dan kilas balik (flash back).
 
 
Hal lain yang membedakan jurnalisme literair dari berita biasa ialah, jika berita
biasa harus obyektif tanpa opini yang bersifat subyektif, jurnalisme literair
bukan tak mungkin mengandung unsur subyektivitas -- dalam derajat tertentu.
Sekali lagi: subyektif dalam derajat tertentu, atau seminimal mungkin, sekedar
untuk memperkaya deskripsi.

Bagaimana menulis feature?
 
Kuliah umum di depan para mahasiswa semester ke-VII Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi Universitas Nasional, Jakarta, 18 November 2008.
/ Budiman S. Hartoyo. Ada beberapa jenis berita. Yang paling pendek disebut straight news, yaitu berita singkat padat yang langsung mengabarkan inti berita, tapi tetap
mengandung unsur 5-W 1-H [who (siapa), what (apa), when (kapan), where (di mana), why (mengapa), how (bagaimana).
 
 
Jika berita tersebut sangat penting untuk segera diketahui oleh publik disebut stop press, sedangkan jika ditayangkan di layar televisi atau melalui corong radio disebut breaking news, karena disiarkan sebagai selingan mendadak di sela-sela acara yang sedang berlangsung. Misalnya, sekedar contoh, Mantan Presiden Soeharto
telah wafat pada hari ini, 27 Januari 2008 jam 11:00 WIB di Rumah Sakit Pusat
Pertamina, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dalam usia 87 tahun, setelah
dirawat selama beberapa hari karena sakit usia tua. Jenasahnya kini disemayamkan di rumah duka Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, dan segera akan diterbangkan ke Solo untuk dikebumikan di makam keluarga Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jawa Tengah (disiarkan pada tanggal 27 Januari 2008 jam 11:05).
 
Selain harus mengandung unsur 5-W 1-H, penyusunan struktur sebuah berita lazim
mengikuti apa yang disebut metode "piramida terbalik." Maksudnya, yang
pertama-tama ditulis ialah inti berita yang penting, kemudian data yang agak
penting, lalu yang setengah penting dan akhirnya data pelengkap yang kurang
penting. Walaupun singkat padat, susunan straight news tetap harus mengikuti
metode "piramida terbalik." Pada contoh di muka, yang paling penting ialah
wafatnya mantan Presiden Soeharto, sedangkan makam keluarga Astana Giri Bangun
merupakan data pelengkap.
 
Meskipun pada contoh stop press tersebut, wafatnya mantan Presiden Soeharto
dianggap sebagai fakta yang penting -- oleh karena itu ditulis di awal berita
--, unsur paling penting dari sebuah news (berita) ialah when (kapan). Mendengar berita
tentang wafatnya Pak Harto, orang biasanya kontan akan bertanya, "Kapan?"
Dengan demikian, contoh berita tersebut bisa ditulis sebagai berikut: Hari ini, 27 Januari 2008 jam 11:00 WIB, mantan Presiden Soeharto telah wafat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dalam usia 87 tahun, setelah dirawat selama beberapa hari karena sakit usia tua. Dan seterusnya.
 
Unsur 'when' menjadi sangat penting, sebab tanpa unsur yang menyebutkan waktu,
sebuah peristiwa atau kejadian tidak dapat disebut sebagai berita. Bahkan,
berita mengenai apapun wajib mempunyai "cantolan" atau "gantungan", mengapa
atau atas dasar apa sebuah peristiwa atau kejadian ditulis menjadi berita. Yang
dimaksud dengan "cantolan" atau "gantungan" itu lazim disebut sebagai news peg. Tidaklah mungkin kita ujug-ujug menulis berita atau artikel mengenai pemerintahan yang represif atau mengenai mega korupsi, misalnya, tanpa news peg berupa wafatnya Pak Harto.
 
Selain karena adanya news peg, sebuah kasus menjadi penting diberitakan karena
memang layak ditulis sebagai berita. Kelayakan itu berkaitan dengan magnitude (bobot) beritanya yang cukup besar. Bobot berita wafatnya Pak Harto sangat besar, dibanding bobot meninggalnya camat Pondokgede, misalnya. Bobot berita korupsi Tommy Soeharto yang milyaran sangat besar dibanding korupsi yang dilakukan seorang guru SMP Negeri di Kecamatan Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah, yang hanya sekitar lima jutaan rupiah. Tommy bukan saja anak mantan presiden, kasus korupsinya juga
sangat besar, sementara pak guru SMP selain tidak terkenal, bukan public figure, ia melakukan korupsi karena terpaksa, gara-gara gajinya tidak mencukupi.
 
Wafatnya Pak Harto dan kasus korupsi Tommy Soeharto sangat layak diberitakan,
karena selain mereka adalah public figure, kasusnya menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga bernilai "sangat penting". Sebuah kasus perlu juga diberitakan, antara lain karena kejadiannya aneh, langka, atau unik. Dalam hal ini berlakulah kredo sejarawan Inggris, Charles A. Dana, yang pada 1882 mengatakan, When a dog bites a man, that is not a news. But when a man bites a dog, that is a news (Jika
anjing menggigit orang, itu bukan berita. Tapi jika orang menggigit anjing,
barulah itu berita).
 
Maksudnya tentu saja bukanlah semata-mata faktor "menggigit", melainkan faktor unicum, keunikan atau keistimewaan dalam suatu berita. Contoh, kasus Sumanto yang makan daging mayat, seorang ayah yang membantai isteri dan anak-anaknya, seorang legislator yang selingkuh dengan selebriti, dan sebagainya. Ada kriteria lain mengapa sebuah kasus diberitakan. Sesuai dengan keinginan tahu (curiousity) seseorang, pers biasanya memberitakan kejadian buruk ketimbang peristiwa yang baik-baik. Rumah tangga artis yang sakinah dan mawaddah (bahagia penuh kasih sayang) dianggap biasa-biasa saja, sedangkan konflik dalam rumah tangga seorang artis terkenal sehingga mereka bercerai atau bangkrutnya seorang pengusaha terkenal, biasanya dianggap lebih menarik untuk diberitakan. Nah, berita buruk seperti itu biasnya dianggap lebih menarik, sehingga berlakulah teori yang sesungguhnya tidak selalu tepat: a bad news is a good news (berita buruk adalah berita baik). Pengertian good news di sini bukan berarti "berita baik" melainkan berita yang (biasanya) diminati oleh kebanyakan publik.
 
Padahal, rumah tangga bahagia seorang artis, atau sukses bisnis seorang tokoh,
bisa ditulis sebagai success story, kisah sukses seseorang, yang jika ditulis dengan baik juga menarik untuk dibaca. Kelayakan sebuah berita juga ditentukan oleh akurasi datanya. Tingkat akurasi (ketelitian, kecermatan, kebenaran data) menentukan tingkat profesionalitas. Seorang wartawan yang menulis berita tidak akurat, bisa dinilai tidak
profesional. Bahkan seorang wartawan yang tidak tepat dalam penggunaan bahasa
Indonesia, juga bisa dinilai tidak profesional. Selain itu, berita yang baik haruslah berimbang, tidak berat sebelah.
 
 
Dua pendapat yang saling bertentangan, dua-duanya harus dimuat secara adil. Istilah mengenai asas ini disebut cover both sides atau both sides coverage. Kembali pada straight news. Sebagai follow up lebih lanjut dari straight news tersebut, para wartawan menulis berita yang lebih panjang, karena straight news tentulah belum lengkap, dan hanya merupakan dasar dari sebuah berita yang lebih panjang dan lengkap. Beberapa data yang lazim dianggap sebagai pelengkap, misalnya, jenis penyakit Pak Harto (dengan mewawancarai para dokter kepresidenan), siapa saja yang melayat di rumah sakit dan acara tahlil di rumah duka (dengan melakukan reportase), bagaimana rencana pemberangkatan jenazah dan upacara pemakaman (dengan mewawancarai keluarga Cendana dan reportase di Astana Giri Bangun), dan sebagainya.
 
Wafatnya Pak Harto jelas merupakan berita sangat penting, berita besar, big
news. Oleh karena itu para redaktur cepat-cepat memberikan assignment
(penugasan) kepada para reporter untuk menulis berita yang lebih lengkap.
Bahkan beberapa artikel yang berkaitan dengan Pak Harto, dan perannya selama
menjadi presiden (lengkap dengan foto dokumentasi yang diperlukan) sudah
dipersiapkan, begitu Pak Harto dirawat karena sakit keras. Misalnya,
pemerintahan Pak Harto yang represif, kasus korupsi bersama kroni-kroninya, dan
sebagainya. Begitu Pak Harto wafat, artikel seperti itu sudah pressklaar, siap
cetak.
***
 
Ada jenis berita lain yang disebut feature atau news feature, yaitu tulisan
panjang, lengkap, komprehensif, berimbang, dengan kasus yang magnitude-nya
cukup besar, tapi lebih mementingkan unsur why dan how. Yaitu "mengapa" atau sebab
musabab sampai peristiwa itu terjadi, dan "bagaimana" proses terjadinya
peristiwa tersebut. Selain itu, sebuah feature hendaknya ditulis dengan gaya
bertutur, deskriptif, sedemikian rupa sehingga susunan kata dan kalimatnya
mampu menggambarkan atau melukiskan suatu profil atau peristiwa tertentu. Oleh
karena itu, feature sesungguhnya sebuah "cerita", tapi bukan cerita mengenai
fiksi melainkan mengenai fakta. A feature is a story about facts, not about fiction (feature ialah cerita tentang fakta, bukan tentang fiksi). Sedangkan karya tulis tentang fiksi
disebut novel, cerita pendek.
 
Sampai di sini kita diingatkan pada sebuah asas atau dalil klasik dalam dunia
jurnalisme, yaitu mengenai fakta dan opini. Menurut dalil klasik tersebut,
sebuah berita harus hanya memuat fakta tanpa mengikut sertakan opini, hanya
memuat peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan sesungguhnya (fact), tanpa pendapat, komentar, ulasan atau tafsir (opinion) si wartawan. Dengan demikian diharapkan berita itu dapat tampil secara obyektif, seperti apa adanya, tanpa bumbu-bumbu lain,
meskipun ditulis dengan deskripsi (penggambaran) yang persis setepat-tepatnya.
Setelah memahami sedikit banyak tentang beberapa persyaratan berita yang harus
kita ketahui, maka sampailah kita pada pertanyaan, "bagaimana menulis feature (yang baik)?"
 
 
Sebelum menulis, pertama-tama pilihlah kasus yang (sangat) menarik, yang menyangkut
kepentingan banyak orang (publik), yang prestisius untuk ditulis. Seorang wartawan atau penulis yang baik dan berpengalaman biasanya memiliki nose of news (daya cium, daya endus berita), yang akan selalu bisa terasah jika ia memiliki "jam terbang" cukup
tinggi. Tapi, nose of news selalu bisa dilatih. Setelah menemukan obyek, kasus atau item tulisan, pikirkanlah apa kira-kira angle-nya. Yang dimaksud dengan angle ialah "sudut pandang", apa kira-kira masalah yang sangat penting dan relevan dari kasus tersebut. Untuk menentukan angle biasanya cukup sulit, sehingga diperlukan pemikiran,
perenungan, bahkan diskusi dengan kawan-kawan.
 
Sekedar contoh kasus, misalnya, TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sampah
Bantargebang, Bekasi, yang sampahnya sempat menggunung lalu roboh dan
menewaskan pemulung. Yang juga menarik, misalnya, banjir yang setiap tahun
menggenangi Jakarta, yang disebabkan oleh penataan kota yang tidak disiplin,
peruntukan lahan yang ngawur. Atau tentang Tanahabang Bongkaran, Jakarta Pusat, sebagai miniatur Indonesia. Di sana ada preman, pedagang kecil, pegawai negeri,
pelacur. Pokoknya berbagai profesi dan etnis yang berbaur dalam kawasan kumuh
sejak puluhan tahun. Kasus lain, Soetan Takdir Alisjahbana (STA) sebagai pendidik dan "pemimpi" yang mengidam-idamkan pendidikan bermutu, sebagai pelopor dan pembina Bahasa Indonesia yang tak kenal lelah.
 
Setelah cukup mantap dengan salah satu kasus tersebut, carilah kaitannya dengan
news peg. Yang dimaksud dengan news peg ialah "gantungan cerita", mengapa kita
menulis feature mengenai sesuatu yang kita yakini sangat menarik minat pembaca.
Mengapa menulis tentang banjir yang menenggelamkan Jakarta? Karena ada news peg
musim hujan di bulan Desember. Kita menerbitkannya di awal bulan Desember,
sesuai dengan news peg-nya, tapi pengerjaannya bisa dilakukan sejak dua atau
tiga bulan sebelumnya. Mengapa kita menulis mengenai STA? Karena akan kita
terbitkan pas pada hari ulang tahun STA, atau HUT Universitas Nasional, atau HUT terbitnya majalah Poedjangga Baroe. Dan seterusnya.
 
Setelah kita menemukan news peg, telitilah apakah kasus yang akan kita tulis
tersebut memenuhi kriteria sebagai item yang sangat terkait dengan kepentingan
publik dan magnitude-nya besar. Contoh-contoh yang kita paparkan di muka cukup
memenuhi kriteria. Setelah itu, susunlah outline (kerangka tulisan), meliputi lead, body text, ending. Seorang penulis yang baik selalu membiasakan diri terlebih dahulu menyusun outline. Di kalangan para wartawan TEMPO di tahun 1980 dulu, dikenal semacam credo: "Mau selamat? Bikinlah outline!" Tapi ingat, cara menyusun outline tidak gampang. Diperlukan latihan tersendiri.
 
Kemudian (inilah tugas yang cukup berat) kuasailah segenap bahan dengan
selengkap dan seakurat mungkin. Lakukan reportase yang mendalam (indeph reporting), wawancara beberapa narasumber yang relevan, riset berbagai bahan, check and recheck. Lakukan pula verifikasi dengan mempertimbangkan both sides coverage. Lakukan semua itu dengan sepenuh semangat dan gairah, tanpa lelah, tanpa bosan, karena proses pengumpulan bahan itu mungkin akan berlangsung sampai berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Namun, ketika kita tengah "berbelanja" bahan-bahan di lapangan, bisa jadi outline akan berubah. Dalam hal ini, yang sangat penting harus dilakukan ialah indeep reporting (reportase mendalam), ialah reportase dan wawancara dari berbagai aspek, sehingga mampu menggambarkan kasus, masalah, atau sosok yang akan kita tulis.
 
Langkah berikut ini lebih sulit lagi, yaitu langkah menulis -- yang harus setia
dengan outline, meskipun ada kemungkinan outline bisa berubah di tengah jalan.
Mula-mula, tulislah lead yang bagus. Lead adalah kalimat pertama sebagai
pembuka, yang harus menarik (baik bahasa maupun materinya) agar supaya pembaca
tertarik untuk terus membaca. Dan itulah fungsi lead yang sebenarnya. Selanjutnya melangkah ke body text, yang hendaknya ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar (tapi populer), deskriptif (bertutur, berkisah), dengan alur cerita yang setia pada outline, dan tetap selalu memperhatikan "gerak pendulum" sehingga tulisan tetap terfokus pada angle.

Pendulum ialah bandul yang menggantung pada seutas tali. Pendulum selalu bergerak dari arah kiri ke arah kanan, berganti-ganti, dan pasti selalu melewati bagian tengah yang searah dengan lurusnya tali tempat pendulum bergantung. Itulah yang dimaksud dengan "gerak pendulum." Artinya, biarpun sang pendulum bergerak ke kanan atau ke
kiri, pasti selalu kembali ke tengah, searah dengan tali gantungan pendulum. Pendulum melambangkan perkembangan cerita yang ditulis dalam sebuah feature, sedangkan tali penggantung melambangkan angle.
 
Jika seluruh bahan cerita sudah ditulis dalam body text, tibalah saatnya kita menulis ending, akhir dari sebuah tulisan. Ending bisa berupa kesimpulan, bisa pula suatu
kejadian lucu (atau tragis dramatis), yang setidak-tidaknya bisa dianggap sebagai suatu kesimpulan. Atau bisa pula berupa persoalan atau pertanyaan yang mengambang, yang tidak perlu dijawab. Sebagaimana lead ada yang menarik dan tidak, ending juga ada yang menarik dan tidak. Tentu saja kita harus memilih yang menarik. Untuk menulis lead dan ending yang menarik, memang dibutuhkan latihan dan "jam terbang" sebagai penulis yang cukup lama. Bagaimana feature yang bagus? Sebuah feature
yang bagus ialah yang lengkap, komprehensif, akurat, dengan verifikasi yang
memadai. Lebih hebat lagi jika feature tersebut merupakan hasil reportase investigasi (investigative reporting), sebuah tulisan yang exclusive (sangat khas, lain dari yang lain) dan ditulis dengan gaya literary journalism, jurnalisme literair. Apakah itu investigative reporting, karya jurnalisme yang exclusive, dan gaya literary journalism? Ketiga-tiganya
sebagai tingkat lebih lanjut dari penulisan feature -- merupakan pembahasan dalam sebuah diskusi tersendiri.
***


Bagaimana menjadi wartawan professional

Pengantar kuliah umum di depan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi Universitas Nasional, 18 November 2008. / Budiman S. Hartoyo
 
BANYAK mahasiswa, anak muda pada umumnya, yang ingin menjadi wartawan. Motifnya macam-macam. Ada yang beranggapan, menjadi wartawan itu keren, bergengsi, dapat masuk ke mana-mana, bisa ketemu dengan pejabat atau artis untuk wawancara, dan sebagainya. Persepsi seperti itu sesungguhnya salah, bahkan menyesatkan. Profesi wartawan bukan untuk "gagah-gagahan". Profesi ini sangat jauh dari persepsi yang sepele seperti itu. Dunia pers, dengan demikian juga wartawan,
adalah kepanjangan tangan publik, penyambung lidah rakyat, terutama rakyat yang
tertindas, the silence majority. Bahkan dalam negara yang demokratis, pers merupakan the fourth estate (pilar ke empat) dari sistem demokrasi, di samping eksekutif, legislatif, yudikatif. Luar biasa, bukan?
 
Untuk dapat menjalani profesi wartawan yang benar, serius, sungguh- sungguh, Anda harus memenuhi tiga hal. Bolehlah kita sebut sebagai "trilogi jurnalisme". Pertama,
Anda harus profesional. Bukan hanya wartawan, semua profesi, jabatan, pekerjaan, sesungguhnya harus dikerjakan secara profesional. Wartawan yang profesional ialah yang memahami tugasnya, yang memiliki skill (ketrampilan), seperti melakukan reportase, wawancara, dan menulis berita atau feature yang bagus dan akurat, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika Anda tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bisa disebut tidak profesional. Tapi, profesional saja tidaklah cukup. Anda mesti mengenal apa yang disebut "integritas," kejujuran, dalam pengertian bahwa sebagai wartawan Anda mesti jujur (dan paham) terhadap profesi, menyadari jatidiri Anda sebagai kepanjangan tangan dari aspirasi publik, kepada siapa Anda semestinya bertanggungjawab secara moral. Profesional dan punya integritas belum lengkap jika Anda tidak memiliki sikap independen, sebagai bagian yang integral dari "trilogi jurnalisme," yaitu profesional, integritas dan independen, tidak berpihak,
obyektif, dan hanya berpihak atau bertanggung jawab kepada publik. Karena bertanggung jawab kepada publik, dan oleh karena itu harus independen, maka jadilah pers dan dengan demikian juga wartawan merupakan the fourth estate (pilar ke empat) dalam negara yang menganut sistem demokrasi -- di samping eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jika pilar demokrasi ciptaan Jean Jacques Rousseau yang disebut "trias politica" itu saling mengontrol satu sama lain, sehingga terjadi check and balance,
maka pers sebagai pilar ke empat berperan sebagai "anjing penjaga" (watch
dog) agar check and balance dalam sistem demokrasi itu berjalan dengan semestinya. Dalam konteks Indonesia, Anda harus memahami UU Nomor 40/1999 tentang Pers yang melindungi tugas wartawan sebagai profesi dan menjamin kebebasan pers. Namun harap diingat, dan jangan salah paham, bahwa kebebasan pers sesungguhnya bukanlah semata-mata merupakan kepentingan pers. Sebab, kebebasan pers (freedom of the press atau press freedom) merupakan konsekwensi logis dari sistem demokrasi, ketika pers menjadi watch dog dalam rangka perannya sebagai the fourth estate. Pengertian "kebebasan pers" tentu saja bukanlah bebas sebebas-bebasnya, menulis semau gue, tak peduli pada aturan apapun, melainkan bebas dalam mengakses informasi yang dibutuhkan oleh publik.
 
 
Sebab, pers sebagai "pilar ke empat" dalam sistem demokrasi -- yang adalah juga
"kepanjangan tangan" dari aspirasi publik -- harus bebas dalam mengakses
informasi publik. Mengapa? Sebab, kebebasan itu merupakan salah satu dari
hak-hak sipil (hak untuk bebas berpikir, berpendapat, berbicara, menulis, berserikat, beragama, mencari nafkah) yang semuanya merupakan hak-hak manusia
yang paling asasi. Dengan mengemban hak untuk mengakses informasi publik secara bebas, dan dengan demikian sebagai "kepanjangan tangan publik" atau "penyambung lidah rakyat", maka pers berkewajiban memperjuangkan hak-hak sipil, terutama the silence majority. Dengan melaksanakan tugas profesional sebagai social control, pers dapat menjaga agar kekuasaan tetap berjalan di jalur rel demokrasi, tidak terjebak pada penyalah gunaan kekuasaan. Sebab, sebagaimana ungkapan sejarawan Inggris Lord Acton (1834-1902), "the power tends to corrupt; the absolute power tends to absolute corrupt" (kekuasaan cenderung menyalah gunakan kekuasaan; kekuasaan yang mutlak cenderung menyalah gunakan kekuasaan secara mutlak pula). Oleh karena itu, pers harus bebas namun bertanggung jawab (kepada publik, kepada norma hukum, kepada common sense, bukan kepada kekuasaan).
 
 
Namun, di lain pihak pers bukanlah can do no wrong (bukan tidak bisa salah). Sebab,
jika pers can do no wong, bukan tak mungkin akan terjadi trial by the press (pengadilan sepihak oleh pers), bahkan tirani pers. Dalam kaitan ini, sangatlah benar sikap Thomas Jefferson, Presiden ke III Amerika Serikat (1743-1826): "Andai saya diminta memilih antara pemerintah tanpa pers atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua." Padahal, selama memerintah dia sering diperlakukan kurang baik oleh pers AS. ***
 
 
(naskah ini dari sigantengeko@gmail.com)

0 comments:

Post a Comment

Apa pendapat Anda tentang berita ini? komentar berita Secara otomatis, komentar yang ditulis akan masuk pada dinding Facebook Anda.
 
 
 
 
Copyright © BeritaKarawang.com | Space iklan logo Rp 200 ribu sebulan
Karawang, Jawa Barat, Indonesia, 085691309644, beritakarawang@gmail.com | Asep Saepudin Hasan