Indonesia Masih Merana

Saturday, August 15, 2009

MASYARAKAT Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan berjumlah lebih dari 47 juta jiwa. Pendidikan semakin mahal, kesehatan kian tak terjangkau, penggusuran sudah dipandang sebagai hal yang wajar dengan dalih demi keindahan dan kekayaan alam diserahkan kepada asing. Kata pemerhati lingkungan, Kholid AL Kautsar, kemarin.
 
Lebih lanjut dia mengatakan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dijual kepada swasta lokal atau asing. Kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi secara umum didominasi oleh kepentingan negara besar. Ini diakibatkan kepemimpinan yang lemah dan tidak amanah. Faktor kelemahan pertama seorang pemimpin adalah tidak mandiri. Ia bergantung pada negara besar, bahkan menjadi antek penjajah.
 
Keputusan yang diambil selalu melihat sikap negara besar. Selain ketergantungan pada negara lain, penguasa yang tidak tegas dan berani akan menjelma menjadi pemimpin yang lemah, tidak bisa mengatakan 'tidak'. Sejatinya, ketegasan ini ditunjukkan pada kebenaran. Salah, katakan salah dan Benar katakan benar, tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah SWT. Konskuensinya, penerapan hukum tidak boleh tebang pilih.
 
Lebih tragis lagi adalah pemimpin yang tidak memiliki visi yang jelas. Arah Indonesia didasarkan pada arahan asing. Sejak tahun 2005 penguasa mengadopsi Millenium Development Goals yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa. Visi yang diemban bukan visi negeri yang rakyatnya Muslim terbesar di dunia, melainkan visi negara besar. Mereka akan berada di depan, sementara para pengekor akan tetap di belakang.Kepemimpinan yang lemah adalah karena tidak adanya kesadaran ideologis dan politis.
 
Langkah-langkah yang dilakukan lebih bersifat pragmatis, pikirannya tertuju pada mempertahankan kekuasaan, memenangkan Pemilu, mengembangkan bisnis keluarga atau partainya, dll, atau aktivitas yang dilakukannya hanya sekadar untuk menyenangkan pihak asing. Jika hal ini terjadi, hakikatnya pemimpin tersebut merupakan budak yang tidak memiliki kemandirian. Apalagi jika dalam kepemimpinannya tidak menjadikan Islam sebagai landasan, tidak takut akan siksa Allah ketika melanggar syariah-Nya. Karena itu pemimpin seperti ini tidak dapat diharapkan membawa kebaikan dalam kepemimpinannya.
 
Belum lagi sistem yang diterapkannya adalah sistem warisan kolonial. Penjajah angkat kaki, namun aturannya tetap diterapkan termasuk sekulerisme. Konsekuensinya pada masa orde lama ummat Islam dipinggirkan. Pada masa orde baru ummat Islam dicurigai dan diwaspadai serta dicap dengan tuduhan subversi. Berikutnya pada masa orde reformasi ummat Islam distigmatisasi dengan tuduhan fundamentalis dan teroris.
 
"Padahal, mana ada aturan penjajah yang dibuat untuk memajukan rakyat jajahan. Selama sistem sekular warisan penjajah yang diterapkan, selama itu pula rakyat akan terjajah," tukas Kholid. (*)

0 comments:

Post a Comment

Apa pendapat Anda tentang berita ini? komentar berita Secara otomatis, komentar yang ditulis akan masuk pada dinding Facebook Anda.
 
 
 
 
Copyright © BeritaKarawang.com | Space iklan logo Rp 200 ribu sebulan
Karawang, Jawa Barat, Indonesia, 085691309644, beritakarawang@gmail.com | Asep Saepudin Hasan