Pesisir pantai Dusun Sarakan, Desa Tambaksari, Kecamatan Tirtajaya yang rusak akibat kondisi global.
BATUJAYA, RAKA - Jika pengerukan pasir laut di pantai Tanjungpakis, Kecamatan Pakisjaya tidak segera dihentikan, maka keharmonisan hubungan masyasarakat Pakis dengan alam akan terganggu dan berubah menjadi bencana. Memanfaatkan alam tanpa mempertimbangkan kerusakan lingkungan dan eksistensi budaya setempat tidak berbeda dengan penjajahan.
Demikian kata pembimbing lingkungan hidup SMAN 1 Batujaya, Kholid Al Kautsar, kepada RAKA, Minggu (1/2) siang. Ini diungkapkannya menanggapi ekploitasi pesisir pantai di Desa Tanjungpakis, Kecamatan Pakisjaya baru-baru ini. Menurutnya, berlakunya otonomi daerah tidak diimbangi tanggung jawab negara, rakyat kian termarjinalkan haknya. Sementara, kerusakan lingkungan berlangsung di depan mata.
Keadaan ini, lanjutnya, semakin memburuk seiring dengan reformasi setengah hati. Isu lingkungan dan sumber penghidupan tidak menjadi perhatian serius para pengambil kebijakan. Imbasnya, korban akibat konflik dan salah urus kebijakan terus bertambah. Tentu, korbannya sebagian besar adalah kelompok masyarakat yang rentan.
"Salah urus ini (kurang perhatian pemerintah, red) terjadi akibat paradigma pembangunan dan pendekatan sektoral. Sumber-sumber penghidupan diperlakukan sebagai aset dan komoditas yang bisa dieksploitasi untuk keuntungan sesaat dan kepentingan kelompok tertentu. Buktinya, akses dan kontrol ditentukan oleh siapa yang punya akses terhadap kekuasaan. Masalah ketidakadilan dan jurang sosial diabaikan. Pembangunan tidak dipandang sebagai salah satu cara dan proses untuk mencapai kemerdekaan," jelas Kholid.
Lebih lanjut, guru yang konsen menididik siswanya cinta lingkungan ini mengatakan, sumber kehidupan hanya dilihat dari nilai ekonomi yang bisa dihasilkan, sumber daya hutan disempitkan menjadi kayu, sumber daya laut hanya ikan dan sebagainya. Sumber-sumber kehidupan tidak pernah dilihat sebagai sumber penghidupan secara utuh dimana fungsi ekologi, sosial, ekonomi dan budaya melekat padanya.
Berdasarkan data-data, dia memaparkan penyusutan luasan kawasan hutan produksi berdasarkan statistik kehutanan dari tahun 1993 hingga 2001 luas hutan telah mengalami penyusutan sebesar 32,2 juta hektar. Kata Kholid, data resmi terakhir menyatakan, kawasan hutan yang rusak di seluruh Indonesia mencapai 43 juta hektar dengan laju deforestasi rata-rata 1,6 - 2,4 juta hektar pertahun.
Untuk sumber daya pesisir dan laut, akunya, situasinya tidak lebih baik. Terumbu karang di Indonesia semakin menyusut akibat penangkapan ikan dengan cara merusak dan berlebihan, pencemaran, pembangunan di kawasan pesisir, sedimentasi dan pengerukan pasir laut.
Antara tahun 1983 dan 2000, terumbu dengan tutupan karang menyusut dari 36% menjadi 29%. Luas hutan bakau berkurang dari 5,2 juta hektar tahun 1982 menjadi 3,2 juta hektar pada tahun 1987 dan menciut lagi menjadi 2,4 juta hektar pada 1993 akibat maraknya konversi bagi kegiatan budidaya.
Sumber daya perikanan laut juga terancam oleh penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan dan dengan kapasitas berlebih. Belum lagi pengerukan pasir laut, seperti yang terjadi di Pantai Tanjung Pakis yang akan mengancam rusaknya ekosistem dan biota laut, serta berpotensi terjadinya bencana eros yang berdampak buruk pada lingkungan dan kehidupan manusia.
Sebenarnya kita bisa banyak belajar dari kearifan lokal masyarakat pedalaman tentang bagaimana cara memperlakukan lingkungan dengan baik dan bersahabat. Meski secara teoritis mereka buta pengetahuan, tetapi di tingkat praktis mereka mampu membaca tanda-tanda dan gejala alam melalui kepekaan intuitifnya.
"Masyarakat Baduy misalnya, memiliki budaya dan adat istiadat lokal yang lebih mengedepankan keharmonisan dengan alam. Mereka pantang melakukan perusakan terhadap alam karena dinilai bisa menjadi ancaman besar bagi budaya mereka. Alam bukan hanya sumber kehidupan, melainkan juga sahabat dan guru yang telah mengajarkan banyak hal bagi mereka. Dari alam mereka menemukan falsafah dan pola hidup yang mereka anut hingga kini," ungkapnya.
Namun berbagai peristiwa tragis akibat parahnya kerusakan lingkungan sudah terlanjur terjadi. Membangun tanpa merusak lingkungan yang dulu pernah digembar gemborkan pun hanya slogan belaka. Realisasinya atas nama pembangunan, pembabatan hutan dan pengerukan pasir laut terus berlangsung. Sementara itu, hukum pun semakin tak berdaya menghadapi para 'preman' lingkungan hidup.
Lingkungan hidup merupakan persoalan kolektif yang membutuhkan partisipasi semua komponen bangsa untuk mengurus dan mengelolanya. Pemerintah, tokoh masyarakat, LSM, semua warga masyarakat dan komponen bangsa lainnya harus memiliki, 'kemauan politik' untuk sama-sama menjaga kelestarian lingkungan dari ulah para penjahat lingkungan. Hal itu harus dibarengi dengan tindakan hukum yang tegas.
Dan pedang hukum harus benar-benar bisa memenggal para penjahat lingkungan untuk memberikan efek jera dan sekaligus memberikan pelajaran bagi yang lain. Lingkungan hidup dan sumber penghidupan Indonesia berada di ambang kehancuran akibat over eksploitasi selama 32 tahun terakhir. (spn)
0 comments:
Post a Comment